“Embun di padang Lasusua”
By : Ruud van Rabble
Pagi masih serupa pusara
waktu. Kedap, dingin dan belia. Hanya sedikit denyut di pelataran terminal;
beberapa aheng yang belum sepenuhnya menghimpun semangat, seorang backpacker yang lelap di bangku panjang,
dan sejumlah mobil yang menggigil melindas gerimis.
Perlahan sang backpacker pulih dari tidurnya yang
lumayan lelap. Masih terlalu dini
memang. Mobil sewaan yang akan
membawanya baru akan “terbang” 3 jam kemudian.
Tapi ia butuh waktu menyendiri, lepas dari tatapan ibu, kakak dan
kemenakannya. Ia tahu, perjalanan kali
ini bukan sesuatu yang mudah, meski ia seorang traveler sejati sejak dibangku Sekolah Menengah.
Ia ingat, ini pertama kali ibunya
menangis saat melepas keberangkatannya.
Tangis yang ia rasa, sudah mengeram di pelupuk mata lembutnya sejak
paruh malam. “Menangis kadang-kadang
dibutuhkan sebagai mekanisme pertahanan mental”, ia mengenang lamat-lamat
nasihat ibunya. “Karena itu, jika merasa
ingin menangis, menangislah!”
Tapi ia sudah sampai pada batas
sakit. Hatinya kini membaja, dan itu
memicu saraf lakrimalis yang memproduksi air matanya tidak bekerja dengan
baik. Lagi pula, apa untungnya menangis
berkelanjutan? Jika di awal prahara ia masih memelihara isak, itu karena hatinya
tidak berwujud karang. Sesuatu yang
manusiawi. Tapi tangis tidak akan
mengembalikan kepergian wanita yang dicintainya selamanya. Fakta itu demikian gamblang, tapi rasanya ia
punya pilihan; terus terluka atau atau membuat pisau yang melukainya itu
tumpul. Dan ia memilih yang kedua. Disinilah ia sekarang. Di pagi terminal yang gemetar dalam gerimis.
Sebulan yang lalu, kantor pusat
di Jakarta mengirimnya surat
perintah untuk bertugas di tempat yang baru.
Berbekal ijazah hukum dan sejumlah pengalaman kerja, ia berangkat
memenuhi panggilan demi dharma baktinya pada bangsa dan negara.
“Ini bukan pelarian kan ?”
Ibunya menatapinya dalam-dalam. Ia
terdiam, namun dengan senyum kedamaian ia mencium pipi wanita yang paling
disayanginya tersebut dengan hangat seraya berpamitan.
Maret 2010… Mobil sewaan yang ku tumpangi melesat
menembus jalan terjal yang masih sunyi dari keramaian. Mentari yang baru beranjak naik tidak
menyisakan embun yang tersapu bersih hujan lebat semalam. Di kiri kanan jalan hanya terlihat deretan
pohon kakao dan cengkeh di sepanjang pegunungan, serta nyiur melambai di tepi
pantainya nan indah.
Ini adalah hari pertamaku
menembus batas wilayah melintasi perjalanan panjang selama 9 jam menuju Lasusua
tempat tugas yang baru, sebuah kabupaten yang masih menggeliatkan dirinya dengan
pembangunan. Beberapa teman yang telah
lebih dahulu bertugas disana, mengirimkan foto-foto lingkungan daerah tersebut
melalui status fb dan twitter, menggambarkan lingkungan yang kondisi alamnya
masih perawan dan asri. Sebuah tantangan
besar tentunya, karena selama ini ku mendiami sebuah ibu kota
provinsi yang notabene hanya berjejalan dengan nuansa kosmopolik, dengan
berbagai fasilitas metropolitan.
Rasa letih selama menempuh
perjalanan seakan sirna ketika ku menginjakkan kaki di terminal. Sore telah menenggelamkan mentari ke
peraduannya, menyisakan lembayung keemasan di ufuk barat. Ku mengedarkan
pandangan menyapu sekeliling, tanpa sadar ku berucap takbir tanda takzim dengan
keindahan alam yang tersaji di depan mata.
Setelah mendapatkan penginapan
sederhana yang sebagian besar penghuni kamarnya adalah sopir-sopir kampas yang
membawa asupan bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat di kabupaten tersebut, ku
menyusuri jalan-jalan ibukota kabupaten yang masih dalam proses pengerjaan
pengerasan jalan. Diantara keindahan
alam yang tervisualisasi indah di depan mata, ku melihat satu sosok tubuh yang
berjalan dengan sunggingan senyum yang selalu terbias indah di parasnya yang
jelita. Terhipnotis, tanpa sadar ku
bergerak berbalik arah mengikuti langkah kakinya yang tidak tergesa, namun
pasti.
Tanpa berfikir panjang, ku
langsung memperkenalkan diri; “hi assalamu alaikum, perkenalkan, namaku
rudy”. Nama ini terdiri dari dua suku
kata, yakni “ru” dan “dy”. “Orang tuaku
menamakanku sedemikian karena mengharapkanku menjadi anak yang rupawan dan
dynamis”. Dengan sedikit berbohong, ku
mengaku sebagai mahasiswa yang sedang melakukan riset kependudukan. Lama ia menatapku, namun sambil terperangah
ia menjulurkan tangannya seraya memperkenalkan diri; “wa’alaikum salam, nama
saya indah ka’, ada yang bisa adik bantu?”
Sambil senyam senyum dan berusaha menampilkan senyuman yang terbaik
meski pas-pasan, ku langsung merentetnya dengan menanyakan alamat rumah dan
aktivitasnya. Sambil tersenyum “bima”
(“bima = bingung dan malu”), ia mengajakku mengikutinya.
Namanya indah, sosoknya
menggambarkan namanya. Tapi bukan itu
yang membuatku jatuh hati. Saat itu, ia
sedang melangsungkan Kuliah Kerja Profesi.
Tanpa dinyana ia langsung mengajakku berbaur dalam program kegiatan kampusnya. Hal yang membuatku takjub adalah ketika ia
tanpa basa basi mengajakku ke Masjid Raya untuk mengajar beberapa bocah cilik
mengenal baca tulis Al-Qur’an! Alamak,
aku yang tak terbiasa melakoni aktivitas sedemikian menjadi pangling dan
blingsatan untuk pula belajar baca tulis Al-Qur’an sistem kebut, berpacu
belajar dengan waktu agar tidak tampak dungu di depannya dan anak didiknya.
Aneh memang, entah karena niatan
yang baik, akhirnya dalam tempo dua bulan, ku berhasil belajar membaca
Al-Qur’an dan berhasil khatam dengan cukup sukses!hehehe… Sejak saat itu, aku
yang dulu gemar balapan liar dan bersahabat dengan kecepatan tinggi, sekarang
lebih banyak balapan belajar agama dengan intensitas tinggi. Meskipun ia berwatak pendiam, namun momentum
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat daerah se-Sulawesi Tenggara di Lasusua
menjadi ajang pembuktian dirinya sebagai wanita yang sholehah, cerdas, pantang
menyerah dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Well, ini membuatku semakin jatuh hati dan
bertekad ingin merebut hatinya.
Tak terasa telah delapan bulan ku
bertugas di Lasusua. Perasaan ini
semakin membuncahkan gundah gulana untuk menyataan asa terpendam. Tapi ada satu masalah bro, ku mengidap penyakit
gila nomor satu; ketika benar-benar benar jatuh hati pada seorang perempuan,
biasanya pria “jala” (“jala = bujang lapuk”) sepertiku menjadi nervous dan hilang kendali,
sampai-sampai tak dapat mengungkapkan maksud hati dengan kata-kata. Ya, sudahlah, setidaknya ku harus memcoba
bukan?
Berbekal modal nekad dan sudah
mandi (hehehe…), di minggu terakhir di bulan ramadhan 2010, selepas tarwih, ku
bertandang ke rumahnya ditemani seorang “tomas” (“tomas = tokoh masyarakat”)
agar ku tidak tampak nervous di
depannya. Rupanya ia telah mencium
maksud kedatanganku. Sepanjang diskusi
ia tidak pernah menatapku sekedip pun.
Alhasil, diskusi berlangsung monoton dengan tomas sebagai tokoh
sentralnya. Baru ku sadari ternyata perasaanku selama ini benar, bahwa kami
berdua sama-sama mau. Ringkasnya, aku
betul-betul benar mau padanya, di sisi lain ia benar-benar betul mau muntah
melihatku! Ketika sang tomas bergegas
pamit untuk memberikanku kesempatan berbincang berdua, ku ungkapkan segenap
perasaan yang membuat oralku terbata. Ya
Allah, rupanya penyakit gila nomor satuku kambuh lagi, padahal statusku yang
gemar pula mengajar di beberapa perguruan tinggi menjadi ciut berhadapan dengan
sosoknya yang anggun. Apa kata dunia
bro?
Lama ia terdiam terpaku. Tak lama ia beranjak ke ruang dalam sambil
mengucap salam. Aku tersenyum lunak tapi
hatiku tercekat, ia sudah mengambil keputusan dalam diam. Di langit, malam
makin menua. Rembulan terus melinsir,
menyisakan lembayung pucat di bibir malam.
Di pintu rumahnya, ku masih mematung, menyaksikan rembulan pun meluruh
dalam bisu. Ku sempat berucap; “love me or just hate me, but spare me with
your indifference” (cintai aku atau sekalian benci aku, asal jangan tak
acuhkan aku), setelahnya ku berpamitan pada keluarganya. Segera ku beranjak pergi untuk menunaikan
zakat fitrah. Ini adalah malam
terakhirku bertemu dengannya. Hari
tersibuk dalam hidupku berakhir. Tapi di
dadaku, pertempuran kesunyian baru saja di mulai.
Hidup adalah perjuangan
sahabat. Adakalanya dalam hidup, ada
impian yang sulit terealisasi, meskipun itu menyangkut perasaan dari palung
hati terdalam. Sebagai seorang anventurer dan seniman sejati, sekarang
ku menjalani hidup dengan mandiri dan tetap percaya diri untuk mengejar
“rupiah” (“rupiah = rupawan dan rajin ibadah”).
Meskipun kini dimensi waktu telah memisah, namun harapan agar ruang dan
waktu kembali bersatu selalu terpanjatkan agar kelak kami dapat bersua dalam
romansa peri kehidupan yang membahagiakan.
Semoga….. (Untuk adikku Andi Mirayanti Jihad, selamat HUT ke-21 tanggal 6 November 2010 ).
fiiuuuuhhhh... sedih skali kisahnya bro... :(
BalasHapussatu kata untuk indah "gobloook...!!!"
oh iy bro... klo bisa posting skalian foto2x anak2 selama di lasusua... ada banyak itu di kmputer PIDUM
BalasHapusIya om
BalasHapus