Suatu Tinjauan Umum Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri Lasusua

KEJAKSAAN NEGERI LASUSUA

KEJAKSAAN NEGERI LASUSUA

Senin, 25 Oktober 2010

“Embun di padang Lasusua”


“Embun di padang Lasusua”
By : Ruud van Rabble
      Pagi masih serupa pusara waktu.  Kedap, dingin dan belia.  Hanya sedikit denyut di pelataran terminal; beberapa aheng yang belum sepenuhnya menghimpun semangat, seorang backpacker yang lelap di bangku panjang, dan sejumlah mobil yang menggigil melindas gerimis.
Perlahan sang backpacker pulih dari tidurnya yang lumayan lelap.  Masih terlalu dini memang.  Mobil sewaan yang akan membawanya baru akan “terbang” 3 jam kemudian.  Tapi ia butuh waktu menyendiri, lepas dari tatapan ibu, kakak dan kemenakannya.  Ia tahu, perjalanan kali ini bukan sesuatu yang mudah, meski ia seorang traveler sejati sejak dibangku Sekolah Menengah.
Ia ingat, ini pertama kali ibunya menangis saat melepas keberangkatannya.  Tangis yang ia rasa, sudah mengeram di pelupuk mata lembutnya sejak paruh malam.  “Menangis kadang-kadang dibutuhkan sebagai mekanisme pertahanan mental”, ia mengenang lamat-lamat nasihat ibunya.  “Karena itu, jika merasa ingin menangis, menangislah!”
Tapi ia sudah sampai pada batas sakit.  Hatinya kini membaja, dan itu memicu saraf lakrimalis yang memproduksi air matanya tidak bekerja dengan baik.  Lagi pula, apa untungnya menangis berkelanjutan? Jika di awal prahara ia masih memelihara isak, itu karena hatinya tidak berwujud karang.  Sesuatu yang manusiawi.  Tapi tangis tidak akan mengembalikan kepergian wanita yang dicintainya selamanya.  Fakta itu demikian gamblang, tapi rasanya ia punya pilihan; terus terluka atau atau membuat pisau yang melukainya itu tumpul.  Dan ia memilih yang kedua.  Disinilah ia sekarang.  Di pagi terminal yang gemetar dalam gerimis.
Sebulan yang lalu, kantor pusat di Jakarta mengirimnya surat perintah untuk bertugas di tempat yang baru.  Berbekal ijazah hukum dan sejumlah pengalaman kerja, ia berangkat memenuhi panggilan demi dharma baktinya pada bangsa dan negara.
“Ini bukan pelarian kan?” Ibunya menatapinya dalam-dalam.  Ia terdiam, namun dengan senyum kedamaian ia mencium pipi wanita yang paling disayanginya tersebut dengan hangat seraya berpamitan.
Maret 2010…  Mobil sewaan yang ku tumpangi melesat menembus jalan terjal yang masih sunyi dari keramaian.  Mentari yang baru beranjak naik tidak menyisakan embun yang tersapu bersih hujan lebat semalam.  Di kiri kanan jalan hanya terlihat deretan pohon kakao dan cengkeh di sepanjang pegunungan, serta nyiur melambai di tepi pantainya nan indah. 
Ini adalah hari pertamaku menembus batas wilayah melintasi perjalanan panjang selama 9 jam menuju Lasusua tempat tugas yang baru, sebuah kabupaten yang masih menggeliatkan dirinya dengan pembangunan.  Beberapa teman yang telah lebih dahulu bertugas disana, mengirimkan foto-foto lingkungan daerah tersebut melalui status fb dan twitter, menggambarkan lingkungan yang kondisi alamnya masih perawan dan asri.  Sebuah tantangan besar tentunya, karena selama ini ku mendiami sebuah ibu kota provinsi yang notabene hanya berjejalan dengan nuansa kosmopolik, dengan berbagai fasilitas metropolitan.
Rasa letih selama menempuh perjalanan seakan sirna ketika ku menginjakkan kaki di terminal.  Sore telah menenggelamkan mentari ke peraduannya, menyisakan lembayung keemasan di ufuk barat. Ku mengedarkan pandangan menyapu sekeliling, tanpa sadar ku berucap takbir tanda takzim dengan keindahan alam yang tersaji di depan mata.
Setelah mendapatkan penginapan sederhana yang sebagian besar penghuni kamarnya adalah sopir-sopir kampas yang membawa asupan bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat di kabupaten tersebut, ku menyusuri jalan-jalan ibukota kabupaten yang masih dalam proses pengerjaan pengerasan jalan.  Diantara keindahan alam yang tervisualisasi indah di depan mata, ku melihat satu sosok tubuh yang berjalan dengan sunggingan senyum yang selalu terbias indah di parasnya yang jelita.  Terhipnotis, tanpa sadar ku bergerak berbalik arah mengikuti langkah kakinya yang tidak tergesa, namun pasti.
Tanpa berfikir panjang, ku langsung memperkenalkan diri; “hi assalamu alaikum, perkenalkan, namaku rudy”.  Nama ini terdiri dari dua suku kata, yakni “ru” dan “dy”.  “Orang tuaku menamakanku sedemikian karena mengharapkanku menjadi anak yang rupawan dan dynamis”.  Dengan sedikit berbohong, ku mengaku sebagai mahasiswa yang sedang melakukan riset kependudukan.  Lama ia menatapku, namun sambil terperangah ia menjulurkan tangannya seraya memperkenalkan diri; “wa’alaikum salam, nama saya indah ka’, ada yang bisa adik bantu?”  Sambil senyam senyum dan berusaha menampilkan senyuman yang terbaik meski pas-pasan, ku langsung merentetnya dengan menanyakan alamat rumah dan aktivitasnya.  Sambil tersenyum “bima” (“bima = bingung dan malu”), ia mengajakku mengikutinya.
Namanya indah, sosoknya menggambarkan namanya.  Tapi bukan itu yang membuatku jatuh hati.  Saat itu, ia sedang melangsungkan Kuliah Kerja Profesi.  Tanpa dinyana ia langsung mengajakku berbaur dalam program kegiatan kampusnya.  Hal yang membuatku takjub adalah ketika ia tanpa basa basi mengajakku ke Masjid Raya untuk mengajar beberapa bocah cilik mengenal baca tulis Al-Qur’an!  Alamak, aku yang tak terbiasa melakoni aktivitas sedemikian menjadi pangling dan blingsatan untuk pula belajar baca tulis Al-Qur’an sistem kebut, berpacu belajar dengan waktu agar tidak tampak dungu di depannya dan anak didiknya.
Aneh memang, entah karena niatan yang baik, akhirnya dalam tempo dua bulan, ku berhasil belajar membaca Al-Qur’an dan berhasil khatam dengan cukup sukses!hehehe… Sejak saat itu, aku yang dulu gemar balapan liar dan bersahabat dengan kecepatan tinggi, sekarang lebih banyak balapan belajar agama dengan intensitas tinggi.  Meskipun ia berwatak pendiam, namun momentum Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat daerah se-Sulawesi Tenggara di Lasusua menjadi ajang pembuktian dirinya sebagai wanita yang sholehah, cerdas, pantang menyerah dan memiliki semangat hidup yang tinggi.  Well, ini membuatku semakin jatuh hati dan bertekad ingin merebut hatinya.
Tak terasa telah delapan bulan ku bertugas di Lasusua.  Perasaan ini semakin membuncahkan gundah gulana untuk menyataan asa terpendam.  Tapi ada satu masalah bro, ku mengidap penyakit gila nomor satu; ketika benar-benar benar jatuh hati pada seorang perempuan, biasanya pria “jala” (“jala = bujang lapuk”) sepertiku menjadi nervous dan hilang kendali, sampai-sampai tak dapat mengungkapkan maksud hati dengan kata-kata.  Ya, sudahlah, setidaknya ku harus memcoba bukan?
Berbekal modal nekad dan sudah mandi (hehehe…), di minggu terakhir di bulan ramadhan 2010, selepas tarwih, ku bertandang ke rumahnya ditemani seorang “tomas” (“tomas = tokoh masyarakat”) agar ku tidak tampak nervous di depannya.  Rupanya ia telah mencium maksud kedatanganku.  Sepanjang diskusi ia tidak pernah menatapku sekedip pun.  Alhasil, diskusi berlangsung monoton dengan tomas sebagai tokoh sentralnya. Baru ku sadari ternyata perasaanku selama ini benar, bahwa kami berdua sama-sama mau.  Ringkasnya, aku betul-betul benar mau padanya, di sisi lain ia benar-benar betul mau muntah melihatku!  Ketika sang tomas bergegas pamit untuk memberikanku kesempatan berbincang berdua, ku ungkapkan segenap perasaan yang membuat oralku terbata.  Ya Allah, rupanya penyakit gila nomor satuku kambuh lagi, padahal statusku yang gemar pula mengajar di beberapa perguruan tinggi menjadi ciut berhadapan dengan sosoknya yang anggun.  Apa kata dunia bro?
Lama ia terdiam terpaku.  Tak lama ia beranjak ke ruang dalam sambil mengucap salam.  Aku tersenyum lunak tapi hatiku tercekat, ia sudah mengambil keputusan dalam diam. Di langit, malam makin menua.  Rembulan terus melinsir, menyisakan lembayung pucat di bibir malam.  Di pintu rumahnya, ku masih mematung, menyaksikan rembulan pun meluruh dalam bisu.  Ku sempat berucap; “love me or just hate me, but spare me with your indifference” (cintai aku atau sekalian benci aku, asal jangan tak acuhkan aku), setelahnya ku berpamitan pada keluarganya.  Segera ku beranjak pergi untuk menunaikan zakat fitrah.  Ini adalah malam terakhirku bertemu dengannya.  Hari tersibuk dalam hidupku berakhir.  Tapi di dadaku, pertempuran kesunyian baru saja di mulai.
Hidup adalah perjuangan sahabat.  Adakalanya dalam hidup, ada impian yang sulit terealisasi, meskipun itu menyangkut perasaan dari palung hati terdalam.  Sebagai seorang anventurer dan seniman sejati, sekarang ku menjalani hidup dengan mandiri dan tetap percaya diri untuk mengejar “rupiah” (“rupiah = rupawan dan rajin ibadah”).  Meskipun kini dimensi waktu telah memisah, namun harapan agar ruang dan waktu kembali bersatu selalu terpanjatkan agar kelak kami dapat bersua dalam romansa peri kehidupan yang membahagiakan.  Semoga….. (Untuk adikku Andi Mirayanti Jihad, selamat HUT ke-21 tanggal 6 November 2010).

3 komentar:

  1. fiiuuuuhhhh... sedih skali kisahnya bro... :(
    satu kata untuk indah "gobloook...!!!"

    BalasHapus
  2. oh iy bro... klo bisa posting skalian foto2x anak2 selama di lasusua... ada banyak itu di kmputer PIDUM

    BalasHapus